Ekspresi Baby Boomers Indonesia

Kaum muda adalah kaum yang sangat dinamis. Mode, bahasa, musik, dan ideologi yang berkembang sangat cepat berubah seiring anak-anak muda yang terus berkembang pula. Maka tak dapat dihindari berbagai ekspresi kaum muda pasti berbeda setiap zamannya.

Tiap generasi mempunyai ciri dan kekuatan masing-masing. Silent generation merupakan generasi kaum muda yang lahir pada tahun 1925 – 1945. Generasi ini tumbuh dan berkembang dalam dunia perang, saat depresi hebat melanda dan Perang Dunia II berkecamuk. Namun generasi init idak sepenuhnya “diam”. Tokoh-tokoh dari berbagai bidang justru lahir dari generasi ini seperti Jimi Hendrix, Martin Luther King, Jr., Foucault, Derrida, dan lain-lain. Lalu generasi baby boomers, yang lahir di tahun 1946 – 1964 ditandai dengan beragam perlawanan yang dilakukan anak-anak muda waktu itu atas situasi sosial politik yang serba kacau. Berlanjut ke generasi X, generasi yang lahir antara tahun 1965 – 1981. Generasi ini masih diwarnai dengan praktik counter-cultures, praktik kebudayaan yang melawan kebudayaan dominan, seperti punk movement. Terakhir generasi Y, dimana para “aktornya” lahir antara tahun 1982 – sekarang. Kaum muda generasi ini sangat identik dengan perkembangan teknologi, apalagi kalau bukan internet.

Berbagai generasi tersebut pun juga hidup di tanah negeri Indonesia ini. Tiap generasi membawa kekhasan yang masih bisa dikenang sampai saat ini. Satu generasi yang menorehkan banyak kenangan di negeri ini, generasi baby boomers. Kaum muda yang termasuk dalam generasi ini sangat aktif “berkiprah” di rentang tahun ’70-an.

Kala itu, Indonesia berada dalam kepemimpinan rezim Soeharto. Orde baru yang menggantikan pemerintahan orde lama, terus berupaya melanggengkan status quo. Dominasi kaum elite politik dan ekonomi melanda segala lini kehidupan. Hal tersebut membuat kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu jelas terlihat.

Situasi sosial, politik, dan ekonomi yang kacau tersebut membuat kaum muda geram dan tidak tinggal diam. Kaum muda bergerak menginginkan perubahan. Perlawanan terhadap “kemapanan” yang dibangun orde baru terus digencarkan. Demonstrasi dan unjuk rasa di kalangan mahasiswa merebak. Sampai pada tahun 1974, Peristiwa Malari menjadi titik ketidakpuasan mahasiswa terhadap kebijakan ekonomi, sosial, dan politik Orde baru yang bertemu dengan pertarungan intern faksi-faksi kekuasaan orde baru.[1] Peristiwa Malari tepatnya terjadi pada tanggal 15 Januari 1974. Demonstrasi dan kerusuhan sosial yang dilakukan mahasiswa untuk menolak pembangunan proyek-proyek eksklusif.

Namun Soeharto, musuh bebuyutan kaum muda kala itu, juga tidak ingin diam begitu saja. Peristiwa Malari 1974 membuat Soeharto sadar bahwa kedudukan politiknya sebagai presiden rentan terhadap konflik intra-elite negara sehingga ia melakukan seleksi ulang orang-orang di sekelilingnya dan memperkuat posisinya sebagai kekuatan politik mandiri.[2]

Tahun 1977-1978 gerakan kaum muda, di barisan depan yaitu mahasiswa muncul kembali dengan gerakan perubahannya. Gerakan untuk menumbangkan Soeharto dari tampuk kepemimpinan. Akibatnya, pemerintah memandang gerakan mahasiswa menjadi suatu ancaman dan melakukan serangkaian “penumpasan”. Kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa, melarang pers mahasiswa, dan melakukan depolitisasi kampus. Segala upaya tersebut bertujuan untuk mematikan gerakan kritis kaum muda.

Di tengah gelombang perlawanan ini, kaum muda yang lain memilih untuk mengekspresikan ketidakpuasannya melalui kritik-kritik sosial yang dituangkan ke dalam bentuk-bentuk seni. Puisi, sajak, musik, dan teater menjadi alternatif pergerakan perubahan itu. Karya-karya seni tersebut sarat akan kritik sosial yang terlihat dari isi, pilihan kata, tema, dan lakonnya.

Bermunculanlah tokoh-tokoh seni yang aktif menyuarakan pembaharuan dan melancarkan kritik-kritik pedas bagi para penguasa yang merajalela. Teater Koma, turut ambil bagian. Teater Koma tepatnya, didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977. Saat itu, 12 pekerja teater; N. Riantiarno, Ratna Madjid, Rima Melati, Rudjito, Jajang Pamontjak, Titi Qadarsih, Syaeful Anwar, Cini Goenarwan, Jimi B. Ardi, Otong Lenon, Zaenal Bungsu dan Agung Dauhan berkumpul dan berikrar untuk mendirikan grup teater.[3] Pentas-pentas yang digelarpun menyedot animo massa yang luar biasa. Tua maupun muda setia menonton bersama.

Keaktifan teater juga mengundang ancaman penumpasan dari pihak-pihak yang tidak senang dengan kiprahnya. Antara lain interogasi terhadap N. Riantiarno, kecurigaan, pencekalan dan pelarangan, juga ancaman bom.[4] Namun teater ini terus bergerak, terus mencari hal-hal yang bermakna, dan masih aktif sampai sekarang.

Tunggu. Tak hanya teater, dunia sastra pun ramai diisi oleh tokoh-tokoh yang memberi corak baru. Sastrawan yang aktif berkarya dan semakin matang seperti Goenawan Muhamad, Supardi Djoko Damono, Entha Ainun Nadjib, dan sebagainya. Mereka menuangkan luapan perasaan, romantisme, dan situasi yang absurd kala itu dalam puisi-pusi mereka. Sedangkan dunia musik diwarnai oleh lagu-lagu bernuansa kritik sosial politik milik Iwan Fals. Ia memotret carut marut kondisi Indonesia dalam lagunya, seperti dalam Wakil Rakyat, Bento, Demokrasi Nasi, dan lain-lain.

Berbagai ekspresi perlawanan saat itu, apapun bentuknya mampu membakar semangat kaum muda. Semangat menggencarkan perubahan. Karena tidak lain dan tidak bukan, kaum muda adalah agen pembaharu. Hidup kaum muda!

[1] Munafrizal Manan. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta: Resist Book Inc. hal.59.

[2] Eep Saefullah Fatah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cetakan kedua. hal xvii.

[3] terarsip dalam http://teater-koma.blogspot.com/2008/01/tentang-kita.html updated at 2011/04/12 21:21 WIB.

[4] terarsip dalam http://teater-koma.blogspot.com/2008/01/tentang-kita.html updated at 2011/04/12 21:21 WIB.

Referensi:

Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta: Resist Book Inc.

Fatah, Eep Saefullah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cetakan kedua.

Internet:

Richard Kahn and Douglas Kellner. Global Youth Culture. Dalam http://gseis.ucla.edu/faculty/kellner/essays/globyouthcult.pdf. diunduh pada 15/03/2011 pukul 20.00 WIB.

http://teater-koma.blogspot.com/2008/01/tentang-kita.html updated at 2011/04/12 21:21 WIB.

http://teater-koma.blogspot.com/2008/01/tentang-kita.html updated at 2011/04/12 21:21 WIB.

Comments

Popular posts from this blog

'Ke Sana' - nya Float

Ayu Rianna Amardhi: Sang Putri Indonesia dari Komunikasi

Sensasi Bermusik Live