Maafkan Jito, Kek

Siang itu Pak Bun bersiap membunyikan lonceng. Ya, Pak Bun adalah penjaga sekolah SD Tunas Bangsa yang baru. Anak-anak lebih akrab memanggilnya Pak Bun, kependekan dari Pak Tukang Kebun. Sebenarnya nama asli pria paruh baya itu ialah Yanto. “Teng…teng…teng.” Suara nyaring lonceng tua itu terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Tandanya waktu belajar di sekolah telah usai. Teriak anak-anak pun terdengar riuh menyambut datangnya bunyi bel itu. Pak bun hanya menggeleng. Tak lama kemudian anak-anak berhamburan keluar kelas.

“Selamat siang Pak Bun! Besok mukul loncengnya cepat-cepat ya, biar aku bisa cepat pulang,” sapa Didi dengan riangnya. “Huss kamu ini! Pak Bun kan cuma menuruti perintah Pak Kepala Sekolah,” tukas Anjar. “Ah… .” Sebelum Didi selesai bicara, Pak Bun malah balik bertanya. “Kalian kok hanya berdua? Jito mana?” tanyanya. Anjar dan Didi hanya menggelengkan kepala. “Biasanya kami emang pulang bertiga Pak, tapi akhir-akhir ini Jito sering menyendiri di perpustakaan. Dia enggak mau bermain bersama kami,” jawab Anjar. “Bapak lihat kalian sering pulang bersama, tapi kok tumben hari ini dia tidak kelihatan. Ya sudah, cepat kalian pulang, nanti dicari orang tua kalian,” tutur Pak Bun dengan wajah keheranan. Anjar dan Didi pun berpamitan dan segera meninggalkan Pak Bun.

Di sepanjang perjalanan pulang, mereka berdua tidak henti-hentinya membicarakan Jito. Sudah tiga hari ini, sejak Pak Bun diangkat menjadi penjaga sekolah yang baru, sikap Jito berubah. Padahal Anjar, Didi, dan Jito sudah bersahabat sejak duduk di bangku TK hingga sekarang mereka duduk di kelas V. Mereka selalu belajar dan bermain bersama, baik di sekolah maupun di rumah. Tidak biasanya Jito bersikap aneh. Setiap ada masalah, Jito menceritakannya kepada kedua sahabatnya itu. “Anjar, kamu merasa ada yang aneh enggak dengan Jito?” ucap Didi. “Betul. Dia selalu menghindar kalo kita ajak bermain. Apa kamu berbuat salah padanya?” Anjar balik bertanya. “Ah enggak kok, jangan-jangan kamu tuh?” balas Didi. “Sudahlah, besok aja kita tanya langsung ke Jito. Setuju?” tukas Anjar. Didi mengangguk. Mereka pun berpisah dan kembali ke rumah masing-masing.

Seperti rencana mereka kemarin, Anjar dan Didi menghadang Jito saat istirahat. “Minggir teman-teman, aku mau ke perpustakaan, ada buku yang harus kukembalikan,” kata Jito yang terlihat sangat gelisah. “Bentar Jit, kamu kenapa sih?” tanya Didi dengan penuh rasa ingin tahu. “Iya Jit, apa aku berbuat salah? Tiga hari ini kamu terlihat murung dan enggak mau main sama kami.” Anjar semakin tidak sabar menunggu jawaban Jito. “Tidak,” jawab Jito sambil menggelengkan kepala. Jito pun berlalu meninggalkan Anjar dan Didi yang terheran-heran mendengar jawabannya itu. “Jito tunggu!” teriak Anjar dan Didi serentak. Jito tetap tidak menggubris kedua sahabatnya. Dari kejauhan ternyata Pak Bun memperhatikan ketiga sahabat itu. Wajahnya yang sudah dipenuhi keriput terlihat sedih setelah melihat dan mendengar percakapan anak-anak itu.

“Teng…teng…teng.” Suara lonceng terdengar tiga kali. Jito tergesa-gesa berlari keluar dari kelasnya. Pak Bun yang sedari tadi berdiri membunyikan lonceng, terheran-heran melihatnya. Tiba-tiba Pak Bun pun segera berlari menyusul Jito. Pak Bun mengikuti Jito sampai ke rumahnya. Sejak ia bekerja di sekolah, Jito tidak mau berbicara dengannya. Ia ingin mencari tahu apa yang membuat Jito murung sejak kedatangannya di sekolah itu. Sesampainya di rumah, Jito menyadari kehadiran Pak Bun.

“Kenapa kakek mengikutiku?” kata Jito dengan nada tinggi. Wajahnya berubah menjadi ketakutan. Takut jika ada orang yang melihat mereka berdua. “Nak, kakek hanya ingin meminta maaf jika kakek sudah berbuat salah padamu,” ujar Pak Bun. “Kakek kenapa sih harus jadi tukang kebun di sekolah Jito? Gimana kalo teman-teman tahu? Aku pasti akan diejek kek.” Jito sangat marah kepada Pak Bun. Pak Bun hanya terdiam. Ia merasa bingung dan bersalah. Karena dialah, Jito menjadi pemurung dan penyendiri.

“Maafkan kakek, Jito. Kakek hanya ingin tinggal di sini, menghabiskan masa tua bersama keluarga, dekat dengan kalian.” Pak Bun berusaha meyakinkan Jito. “Tapi kek…” Sebelum Jito melanjutkan perkataannya, Anjar dan Didi yang sedari tadi mendengar semua percakapan itu menghampiri mereka.

Anjar dan Didi memang sengaja lewat depan rumah Jito. Mereka bermaksud ingin menemui Jito. Karena takut mengganggu, Anjar dan Didi bersembunyi di balik pagar rumah Jito. “Jito, kami udah dengar semuanya,” kata Didi. Jito dan Pak Bun terkejut. “Sejak kapan kalian di sini?” Jito gelisah. “Maaf, kami emang sengaja ingin ke sini. Lalu kami lihat dan…” Anjar malah bingung.

“Anak-anak, tolong jangan membenci Jito. Ini semua salah kakek,” kata Pak Bun setengah memohon. “Jito, kami enggak akan marah atau membencimu kok,” ujar Didi. “Tapi apa benar Pak Bun ini kakekmu?” tambah Anjar yang masih terlihat bingung. “I…i…iya,” jawab Jito tertunduk lesu. “Jito, enggak usah malu karena Pak Bun ini kakekmu. Kamu harusnya bangga lho. Pak Bun ini sangat dibutuhin di sekolah. Kalo enggak ada Pak Bun, siapa coba yang mau jagain sekolah kita?” ujar Didi mencoba menghibur.

“Aku malu teman-teman. Selama ini aku enggak pernah cerita ma kalian karena aku takut kalian enggak akan mau bersahabat denganku lagi. Aku cuma cucu seorang tukang kebun.” Jito menceritakan semua perasaannya. “Sudahlah Jit. Sekarang mendingan kamu minta maaf sama Pak, eh kakekmu,” kata Didi. “Bener kata Didi. Kamu enggak perlu minder. Nanti kalo ada teman-teman yang ngejek kamu, aku belain deh,” tambah Anjar.

“Jadi selama ini Jito belum cerita sama kalian ya?” Pak Bun bertanya. Mereka bertiga hanya menggeleng. Memang selama ini Anjar dan Didi hanya tahu Jito mempunyai kakek dan nenek yang tinggal di luar kota. Namun semenjak nenek Jito meninggal, Pak Bun pindah dan tinggal bersama keluarga Jito hingga mendapat pekerjaan baru sebagai penjaga sekolah.

Akhirnya Jito sadar bahwa ia telah menyakiti hati kakeknya. Ia merasa bersalah dan tidak ingin merasa malu lagi. Apapun pekerjaan orangtuanya, ia harus menghargainya. Sejenak ia menatap Pak Bun, kakeknya dan berkata, “Maafkan Jito, kek.” Mereka pun berpelukan.

Note: Kalau tidak ditolak, ini cerita mungkin sudah menghiasi rubrik anak sebuah surat kabar. Namun apa daya, namanya juga baru belajar, membuat cerita anak tidaklah segampang yang saya bayangkan sebelumnya.

Comments

Popular posts from this blog

'Ke Sana' - nya Float

Ayu Rianna Amardhi: Sang Putri Indonesia dari Komunikasi

Sensasi Bermusik Live