Mbak Yuni, “Usaha”, dan “Surrender"

Aku terbangun dari tidurku. Sekitar pukul 3 dini hari, rasa ingin buang air kecil memaksaku harus beranjak dari tempat tidur. Sekembalinya dari WC, aku terjaga. Sepertinya aku sudah tidur lama tadi. Hei, tunggu. Hari ini Mbak Yuni datang. Iya, datang. Setelah Mbak Mei, giliran dia yang datang berkunjung. Ya, berkunjung. Karena kedatangannya hanya akan terasa secepat kilat lalu pergi berganti mbak-mbak yang lain lagi.

Ia benar-benar datang kali ini. Aku menatapnya. Mukanya tampak datar. Entah cerita apa yang ingin dia bagi. Bagi? Bersama dengan raut muka yang sepertinya tidak mau membocorkan rahasia, tampaknya Mbak Yuni akan menutup mulutnya rapat-rapat. Baiklah, saya tunggu saja apa yang akan dia lakukan.

Aku menyilakan Mbak Yuni untuk duduk di atas kasurku. Dia tetap diam. Namun ada hal yang membuatku terus bertanya-tanya dalam hati. Benda apa yang dibawanya itu? Sebuah kotak berwarna hitam mengkilat. Oh, koper ternyata. Ia tampak menyembunyikan koper itu. Aku benar-benar dibuatnya penasaran. Daripada aku terus menduga-duga, kuberanikan diri bertanya. “Mbak Yuni, adakah kabar yang ingin kau sampaikan padaku?”

Sial. Mbak Yuni malah tertawa terbahak-bahak. Hanya dalam hitungan detik ia tertawa. Setelah itu? Ekspresinya kembali seperti tadi. Aku mati gaya. Aku mencoba bersikap biasa. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sial, pikirku. Aku dipermainkan. Ah semoga saja tidak. Itu hanya pikiranku. Aku tidak boleh termakan pikiranku sendiri. Tunggu saja. Tunggu apa yang akan dia lakukan. Kali ini giliran aku yang akan diam.

Kami saling berpandangan. Terkadang aku alihkan pandanganku. Mulutku gatal sekali. Aku ingin bertanya apa isi koper itu. Hei, apakah dia tahu isi pikiranku? Tiba-tiba ia membuka kunci kopernya. Perlahan tapi tidak pasti. Ya, tidak pasti ia akan membukanya terang-terangan. Argh! Kau mau apa sih mbak! Aku menjadi kesal. Tunggu saja. Tunggu. Aku kembali menenangkan diriku sendiri.

Mbak Yuni akhirnya membuka koper itu. Ia benar-benar membukanya. Koper yang hanya bisa memuat 2 sampai 3 baju saja itu berisi secarik kertas. Aku mengintip. Mencoba membaca apa yang tertulis di atasnya. Sebuah kata yang ditulis dengan tangan dan dengan tinta hitam. “Usaha”. Aku dapat membacanya. Kata itu. Satu kata yang masih belum bisa aku pahami. Sebenarnya aku belum paham apa maksud Mbak Yuni memperlihatkan kertas itu.

Tunggu. Ia tidak hanya memberi lihat. Ia mengambilnya. Lalu memberikannya padaku. Aku pun menerimanya. Aku membacanya dengan cermat. “Ini untukku mbak?” Aku meyakinkan bahwa apa ia benar-benar memberikannya. Mbak Yuni mengangguk. Tetap tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. “Terima kasih”, kataku.

Ia kembali menutup kopernya. Hamun hanya sepersekian detik ia membukanya lagi. Kini ia mengeluarkan sebuah radio. Aku sungguh dibuatnya ternganga. Darimana datangnya radio itu? Ia berdiri. Mencari stop kontak di kamarku. Ia pun menancapkan kabel radio itu. Ia lalu memutar-mutar pencari frekuensi. Pilihannya berhenti di sebuah frekuensi. Perlahan-lahan terdengar sebuah lagu. Hei, sepertinya akan mengenal lagu ini. Ini kan... .

Mbak Yuni mengambil dua lembar kertas dari dalam koper. Kertas yang berbeda dari kertas yang pertama tadi. Kertas penuh gambar warna-warni. Ia memberikan satu padaku. Satu lagi untuknya. “Ayo kita bernyanyi bersama,” katanya. Mbak Yuni akhirnya berkata-kata. Aku tidak dapat mempercayainya. Ia tersenyum melihatku terbengong-bengong. “I...iya,” jawabku dengan gagap. Sementara kertas bertuliskan “usaha” masih ada di dalam genggaman tangan kiriku. Aku baca apa isi kertas warna-warni di tangan kananku. Ini kan lirik lagu... .

Kami mulai bernyanyi bersama. Bernyanyi sekencang-kencangnya. Radio terus memutar-mutar lagu ini. Ya, lagu ini. Kami terus bernyanyi sambil sesekali mencontek lirik di kertas kami. Bernyanyi dan terus bernyanyi.


Life'll only be crazy as it's always been

Wake up early, stay up late, having debts

Things won't be as easy as it often seems

And yet you want me

This cliché's killing me

Still I need more I need more

This I’ve never thought before


Chi trova un amico, trova un tesoro

We can look for many other foreign lines to make me survive your love

You said "To the future we surrender.

Let's just celebrate today, tomorrow's too far away.

What keeps you waiting to love?

Isn't this what you've been dreaming of?"


Life's to live and love's to love


Sundays will be empty as it's always been

Watching TV, wake up late, playing dead

Mondays won't be easy with no plans and schemes

Now that you’re still here

The silence shouts it clear

You’re still here

The silence shouts it clear


To the future we surrender

Life's to live and love's to love

To the future we surrender

Life's to live and love's to love


To the future we surrender

Life's to live and love's to love

To the future we surrender

Life's to live and love's to love



Aku mulai kelelahan. Mbak Yuni terus bernyanyi. Aku mulai menutup mata. Perlahan. Aku lelah. Aku pun tertidur. Entah berapa lama.

Sayup-sayup terdengar suara news anchor membacakan berita. Ah sudah siang pikirku. Aku mulai membuka mata. Aku terkejut. Oh tidak, aku tertidur! Aku mencari-cari Mbak Yuni. Oh tidak! Dia menghilang! Kopernya pun tak ada. Mbak Yuni rupanya sudah pergi. Benar-benar pergi.

Tanpa aku sadari, aku masih menggengam erat kertas-kertas itu. Aku baca dengan seksama sekali lagi. Sebuah lirik lagu milik Float berjudul “Surrender” di kertas warna-warni dan sebuah kata “usaha” di kertas putih polos. Aku tersenyum-senyum sendiri. “Terima kasih Mbak Yuni,” kataku dalam hati.

Kulihat laptopku masih menyala di meja belajar. Terlihat blank page di microsoft word. Aku pun duduk menatap layar. Beberapa menit menatap layar, jari-jariku gatal. Kuceritakan saja apa yang terjadi padaku dini hari tadi. Antara aku dan Mbak Yuni. “Usaha” dan “Surrender”.

Comments

Popular posts from this blog

'Ke Sana' - nya Float

Ayu Rianna Amardhi: Sang Putri Indonesia dari Komunikasi

Sensasi Bermusik Live