Onar (Bagian 1)

Aku mengingat-ingat kembali bagaimana pertemuanku dengan seorang anak lali-laki ojek payung tempo hari.

Waktu itu hujan turun begitu deras saat aku sampai di stasiun Tanah Abang. Aku lupa membawa payung atau jas hujan. Tak mungkin aku menunggu hujan reda. Masih banyak kerjaan menunggu. Kupanggil satu ojek payung. Bocah laki-laki berkaus biru nan usang menyahut. Umurnya sekitar 10 tahunan. Rambutnya pirang kemerahan. Tubuhnya agak kurus. Walau basah kuyup dan sedikit menggigil, ia tetap mencoba tersenyum.

Kuraih payung hitam miliknya. Aku berjalan cepat agar segera sampai di pinggir jalan raya, mencari bajaj. "Berapa ongkosnya dek?," tanyaku setelah mendapat bajaj. "Seikhlasnya bu," jawabnya. Kukeluarkan selembar uang 20 ribuan. Pikiranku melayang, seharusnya saat ini ia sedang duduk di ruang kelas, belajar bersama teman-temannya. Bukan malah ngojek payung. "Wah makasih bu, hati-hati bu," katanya dengan wajah sumringah.

Entah mengapa memori pertemuanku dengannya muncul lagi. Aku seperti familiar dengan raut wajahnya. Tapi sekeras apapun aku mencoba mengingat, tak kudapati kenangan selain ngojek payung. Apakah aku pernah bertemu dengannya di dunia yang lain?

"Hei Rano! Jangan ngelamun!" bentak Dodi, tepat di depan mukaku. Dodi adalah rekan kerjaku. Meja kerja dia berhadapan denganku. Rupanya dia memperhatikanku dari tadi. "Kamu sakit?" tanya Dodi.

"Nggak," jawabku.

"Biasanya kamu jam segini udah ngacir ke kantin. Kalau sakit pulang aja, nanti aku bantu bilang ke si bos," sahut Dodi.

"Nggak...nggak kok. Cuma teringat sesuatu aja," aku berkilah. Kurapikan meja kerjaku. Benar aku belum makan dari pagi. Aku berjalan ke luar ruangan. "Yuk Dod, kita makan," ajakku pada Dodi.

"Yuk," jawab Dodi.

Di kantin, aku melihat Bu Mirah memberesi dagangannya. Aku cukup kaget. Tak biasanya ia bubar lebih cepat dengan dagangan yang masih banyak. Aku pun mendekatinya.

"Bu kenapa ini kue masih banyak banget kok dibawa pulang. Kan bisa dititip ke Pak Kasno," kataku. Aku mendadak deg-degan menunggu jawabannya.

"Ndak dek...ini bisa buat snack layatan nanti," katanya dengan suara bergetar. Air matanya perlahan menetes. "Wis ya dek..ibu terburu-buru," pamitnya dengan tergesa.

Dadaku sesak. Kenapa denganku? Bu Mirah bukan siapa-siapaku tapi kenapa aku yang sedih.

"Ran! Sini! Ada yang kosong," Dodi memanggilku dari kejauhan. Langkahku gontai. Aku lemas. Aku pun duduk. Mencoba mencerna semuanya.

"Heh, kamu ngga makan?," tanya Dodi.

Aku membisu. Aku bingung. Aku linglung. Ya Tuhan, perasaan macam apa ini?

Tak lama, Dodi sudah membawakanku segelas teh manis hangat. Mungkin dia khawatir denganku. Apakah mukaku sudah terlihat pucat seperti mayat?


Bersambung...




Comments

Popular posts from this blog

'Ke Sana' - nya Float

Ayu Rianna Amardhi: Sang Putri Indonesia dari Komunikasi

Sensasi Bermusik Live